Warisan Sejarah: Mengurai Kompleksitas Sengketa Kuil Preah Vihear

Sengketa Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja adalah cerminan kompleks dari warisan sejarah yang berbelit. Lebih dari sekadar perebutan sebidang tanah, konflik ini melibatkan interpretasi berbeda atas peta lama, identitas nasional yang kuat, dan kebanggaan budaya. Memahami kompleksitas ini penting untuk melihat mengapa penyelesaian sengketa tersebut begitu sulit.

Kuil Preah Vihear sendiri adalah sebuah mahakarya arsitektur Khmer yang dibangun antara abad ke-9 dan ke-12. Situs ini didedikasikan untuk Dewa Siwa dan dianggap sebagai salah satu contoh paling indah dari arsitektur kuno di wilayah tersebut, menjadikannya warisan sejarah yang tak ternilai.

Lokasi geografis kuil, di puncak tebing yang curam di Pegunungan Dângrêk, secara alami memisahkan dataran tinggi Thailand dari dataran rendah Kamboja. Akses termudah ke kuil adalah dari sisi Thailand, namun pintu masuk utama menghadap ke Kamboja, menambah kompleksitas.

Puncak dari sengketa ini berakar pada peta kontroversial tahun 1907. Peta ini dibuat oleh Komisi Delimitasi Indocina Prancis-Siam, yang bertujuan untuk menetapkan batas antara Siam (Thailand) dan Indocina Prancis (Kamboja). Thailand mengklaim peta itu cacat dan tidak adil.

Pada tahun 1962, sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ). ICJ memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear terletak di wilayah Kamboja, berdasarkan interpretasi atas peta 1907 tersebut. Putusan ini diterima Kamboja namun menimbulkan ketidakpuasan mendalam di Thailand.

Meskipun ada putusan hukum internasional, Thailand terus berargumen bahwa garis batas dalam peta 1907 tidak mengikuti prinsip aliran air (watershed principle), yang merupakan kesepakatan awal perbatasan alami. Bagi Thailand, keputusan itu mengabaikan geografi.

Bagi Kamboja, kuil ini adalah simbol penting dari identitas nasional dan kejayaan Kerajaan Khmer masa lalu. Keputusan ICJ adalah validasi atas klaim kedaulatan mereka terhadap warisan sejarah yang tak ternilai ini.

Konflik seringkali memanas dan berujung pada bentrokan militer di perbatasan, menyebabkan korban jiwa dan destabilisasi. Setiap eskalasi, seperti yang terjadi pada eskalasi 2025 terkait insiden ranjau darat, memperumit upaya penyelesaian damai.